Diakses pada 19:47 23 Oktober 2014
Laporan Reporter Tribun Jogja, Riezky Andhika Pradana
Peragaan busana di jalanan Kotagede bertajuk Conclusion Mataram to Kotagede Minggu (12/10/2014).
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - PERAGAAN busana tidak mesti digelar di catwalk sebuah hotel berbintang dan sebagainya. Beberapa desainer di Yogyakarta pekan lalu menggelar peragaan busana di jalan. Mulai pukul tiga sore, Minggu (12/10/2014) masyarakat memadati Pendopo Extuta di depan Koramil Jl Kemasan, Yogyakarta.
Dengan menampilkan tiga outifit /busana bertema “Conclusion Mataram to Kotagede”, Fashion designer yang terlibat adalah Lia Mustafa “Mozaik Jogja“ bersama lima designer klamb, yakni Naresh Klamb dengan tema “Mataram Construction”, Novita Klamb “Mataram Mosque”, Amel Klamb “The Power of Baluwerti“, Nanik Klamb “Aliance”, dan Aline Klamb.
Peragaan busana yang digelar oleh Lia Mustafa, Young Designer KLAMB House of LMAR, dan Acesories Designer Silver Kotagede ini juga menjadi bagian dari Carnival and Art Festival Kotagede.
Lia menjelaskan bahwa batik secara historis dikenal sejak abad XVII yang ditulis dan dilukis pada daun lontar. Dalam sejarah perkembangannya batik mengalami perkembangan, yaitu dari corak-corak lukisan binatang dan tanaman lambat laun beralih pada motik abstrak yang menyerupai awan, relief candi, wayang beber dan sebagainya.
Keberadaan batik Yogyakarta, lanjutnya, tidak terlepas dari sejarah berdirinya kerajaan Mataram Islam oleh Panembahan Senopati. Setelah memindahkan pusat kerajaan dari Demak ke Mataram, dia sering bertapa di sepanjang pesisir Pulau Jawa.
Sebagai raja Jawa yang tentu saja menguasai seni, maka keadaan tempat tersebut mengilhaminya menciptakan pola batik lereng atau parang, yang merupakan ciri ageman (pakaian) Mataram yang berbeda dengan pola batik sebelumnya.
Sedangkan sejarah Kerajinan perak Kotagede berasal ketika Panembahan Senopati di Mataram memerintahkan abdi dalem kriya membuat perhiasan dari emas dan perak. Bagaimana jika tidak? mungkin saja Kotagede tidak akan pernah mendapat julukan sebagai Kota Perak.
Lia menjelaskan andaikata pihak keraton Yogyakarta, tidak terpikat dengan hasil kerajinan logam berciri tradisional hasil sentuhan tangan abdi dalem kriya Kotagede, mungkin kilap perak sudah lama terbenam di antara rumah joglo dan rumah loji, dengan ciri seni bangunan Eropa.
“Kekayaan dan kemampuan para pengerajin dan aksesoris desainer dari Kotagede ini menjadi sentral dari pagelaran kali ini,” kata Lia.
Sejalan dengan perkembangan jaman yang semakin berkembang dan didukung oleh teknologi yang semakin maju, menjadikan kerajinan perak Kotagede menjadi satu industri yang berkembang serta menjadi daya tarik dan sektor pariwisata di kota Yogyakarta.
Lia mengatakan bahwa satu teknik pembuatan perak yang paling terkenal adalah teknik filigri, kerajinan yang dibuat langsung oleh tangan. Seperti namanya, proses pembuatan kerajian perak ini seluruhnya dibuat langsung oleh tangan atau handmade, dimulai dari desain kerajinan peraknya hingga proses pembuatan dan finishingnya selurunya dibuat oleh tangan, kerajinan perak handmade ini dibagi menjadi dua katagori yaitu: Filigree dan Solid Silver
Sampai sekrang teknik ini menjadi andalah para pengrajin karena proses pembuatan masih tidak dapat dilakukan oleh mesin. Lia berharap pagelaran ini dapat menjadi tempat untuk lebih mempromosikan kerajinan perak, memberikan kemajuan untuk sektor pariwisata dan industri kreatif yang berkembang di Yogyakarta, khususnya Kotagede. (*)