Sumber: SRIWIJAYA* Edisi 38/April 2014 | Teks&Foto: Karina Ayu Budiani
Hiruk pikuk pasar dan tumpah ruah para pedagang di sekitar pintu masuk pasar legi kotagede mengawali perjalanan saya menelusuri kotagede
Pasar Legi tidak hanya menjadi awal perjalanan saya di Kotagede tapi juga menjadi cikal bakal perputaran rode ekonomi di Kotagede. Pasar di dalam Kotagede menjadi salah satu elemen kota Jawa lama selain Keraton, Alun-alun dan Masjid. Keempat elemen kota tadi disebut Catur Gatra Tunggal dalam konsep tata kota Jawa lama.
Setiap pagi Legi dalam kalender Jawa, penjual, pembeli, dan barang dagangan tumpah ruah di Pasar Legi Kotagede. Pedagang yang kebanyakan ibu-ibu menggelar dagangannya mulai dari bahan kebutuhan sehari-hari hingga kue-kue atau camilan. Saat berkunjung ke pasar ini, sempatkan juga untuk berburu makanan tradisional Kotagede yakni kipo, legomoro dan roti kembang waru. Kue-kue ini adalah warisan sejak jaman kerajaan Mataram yang memang hanya dikonsumsi oleh kalangan kerajaan.
Dari pasar, perjalanan saya lanjutkan untuk bertemu dengan pemilik rumah Joglo di Kotagede ditemani Shinta dari Komunitas Muda Jelajah Pusaka Kotagede. Kami pun tiba di depan pager yang membatasi jalan dan sebuah rumah joglo. Shinta kemudian menagajak saya untuk masuk kedalam dan bertemu pemiliknya yang akrab dipanggil Pak Gembong. Pak Gembong adalah satu-satunya pemilik rumah Joglo di
Kotagede sejak abad ke-16 dengan konstruksi lambang gantung. Menurut ceritanya komplek atau blok rumah Pak Gembong disebut Omah Tumenggungan karena jaman kerajaan dulu digunakan sebagai tempat bermukimnnya tumenggung dan abdi dalem dari wilayah Solo. Karena pada masa itu Kerajaan Mataram mencakup wilayah Yogyakarta dan Solo. Pada saat rombongan raja ingin berkunjung ke Kotagede maka mereka akan bertandang dulu ke Omah Tumenggungan dan mereka akan disambut di area pendopo joglo.
Joglo adalah rumah adat Jawa Tengah yang diapresiasi sangat tinggi karena teknik pengerjaan keindahannya. Bagian yang paling menarik adalah pendopo yang berada di depan. Hingga kini fungsi pendopo masih digunakan sebagai tempat menerima tamu acara-acara besar atau hajatan. Pada bagian tengah, terdapat omah njero sebagai tempat tinggal, lalu bagian belakang rumah untuk memasak dan kamar mandi.
Sebuah fakta menyedihkan saya dapatkan saat mengobrol lebih lanjut dengan Pak Gembong. Meski jumlah rumah joglo di Kotagede masih sekitar 400-500 buah, namun jumlah ini semakin berkurang karena berbagai alasan. Belum lagi dengan kondisi Yogyakarta setelah mengalami gempa tahun 2006 yang menyebabkan kehancuran di Kotagede. Sekitar lebih dari 50 rumah joglo rubuh dan tidak terkecuali rumah milik Pak Gembong yang saat ini masih datam proses renovasi.
Tujuan kami berikutnya adalah sebuah jalan yang mendapat sebutan ‘Between Two Gates’ di Kampung Alun-atun. Disebut Kampung Alun-alun karena area ini dulunya adalah alun-alun Kotagede sebelum berubah menjadi pemukiman penduduk. Istilah ‘Between Two Gates’ baru dimunculkan tahun 1986 oleh tim peneliti arsitektur karena posisi jalan yang diapit oleh dua gerbang. Di dalam area ini terdapat sembilan rumah joglo yang diantaranya terdapat jalan Rukunan. Berbeda dengan area Omah Tumenggungan, area ini memiliki jalan yang sedikit lebih lebar dan lebih rapi. Pandangan mata saya lantas tertuju pada salah satu pendopo joglo yang terbuka tanpa pagar. Keindahan kayunya tampak sangat apik senada dengan rumah-rumah di sekitarnya.
Kotagede terkenal akan lorong-lorong sempitnya. Saat memasuki lorong-lorong ini saya merasa seperti berada di labirin. Uniknya meski dinding-dinding pembentuk lorong ini umumnya menjadi bagian belakang rumah, masing-masing rumah memberi pintu yang hampir berhadapan dengan pintu milik tetangga. Hal ini bertandakan kerukunan antar warga yang sangat erat di Kotagede. Hampir semua warga Kotagede saling kenal hingga antar satu sama lain terbiasa menyapa bertemu di jalan. Hal ini seperti pepatah Jawa “rukun agawe sentosa, crah agawe bubrah” yang berarti kerukunan membuat hidup tentram, perpecahan membawa kehancuran’.
Setelah menyusuri lorong-lorong sempit Kotagede, saya menapaki jejak-jejak kerajaan Mataram lainnya. Tujuan pertama saya adalah Masjid Besar Mataram. Kawasan mesjid dikelilingi dinding dan gerbang batu yang dihias berbagai ukiran menyerupai bentuk-bentuk candi Hindu karena kerajaan Mataram didirikan pada masa peralihan agarna Hindu ke agama Islam. Arsitektur mesjid ini sudah mengalami dua kali renovasi namun masih bisa terlihat arsitektur Jawa lama pada tiap sudutnya. Bahkan lambang gantung juga diaplikasikan di sini.
Perjalanan saya lanjutkan menuju Sendang Seliran, sebuah sumber air di area makam Raja-raja Kotagede. Menurut beberapa cerita, sendang ini dikerjakan sendiri oleh Ki Ageng Pemanahan dan Panembahan Senopati. Saat masuk ke area halaman makam dan sendang, terlihat beberapa penjaga makam yang menggunakan baju tradisional Jawa lengkap dengan blangkon (penutup kepala khas Jawa). Blangkon yang digunakan ada dua macam, yakni blangkon adat Solo dan Yogyakarta karena kerajaan Mataram pernah mengalami perpecahan akibat perjanjian Giyanti tahun 1755, hingga akhirnya terbentuklah keraton Solo dan keraton Yogyakarta.
Di dalam area Sendang Seliran terdapat dua kolam yakni Sendang Lanang untuk laki-laki dan Sendang Wadon untuk perempuan. Saya pun mendekat ke area Sendang Wadon dimana saya melihat seorang nenek yang sudah amat renta sedang memberi makan ikan-ikan di dalam kolam. Sambil memberi makan dia seperti berbicara dengan ikan-ikan itu dalam bahasa Jawa. Shinta yang menemani perjalanan saya pun menerjemahkan untuk saya. “Mbah (sebutan nenek dalam bahasa Jawa) ini memohon agar usahanya diberi kemakmuran dan diperlancar rejekinya” jelasnya. lni adalah salah satu mitos yang berkembang di Sendang Seliran sejak jaman dulu.
Sendang Seliran juga menjadi tempat acara tahunan di Kotagede yakni Nawu Sendang Seliran (menguras Sendang Seliran). Acara yang berkembang dari tradisi turun temurun ini dikemas lebih meriah di masa kini. “Semula ini hanya tradisi menguras kolam saja tapi kemudian dibuat lebih menarik dengan adanya kirab dan sebagainya untuk daya tarik wisata” jelas Shinta. Selain masjid, rumah-rumah joglo dan Sendang Seliran, masih ada satu tempat lagi yang bisa dikunjungi wisatawan yakni makam keluarga kerajaan Mataram. Untuk masuk ke dalam makam, kita harus mengenakan busana adat Jawa yang disewakan di pintu masuk. Sayangnya di dalam makam tidak boleh mengambil gambar hingga saya melewatkan kesempatan ini dan harus mengakhiri perjalanan saya kali ini yang menyisakan banyak cerita menarik sekaligus keprihatinan akan sebuah saksi sejarah yang berjuang melawan modernisasi.
GELIAT KERAJINAN PERAK
Bagi banyak orang, Kotagede merupakan lokasi untuk berburu kerajinan perak. Namun sayang, geliatnya kini mulai berkurang dan hanya menyisakan beberapa toko kerajinan perak yang masih dapat ditemui di Kotagede. Dari sekian banyak toko-toko perak yang ada di Kotagede, jalan Kemasan adalah tempat yang masih terbilang penjualnya cukup banyak dibandingkan di tempat lain. Alasan utamanya tidak lain adalah kenaikan harga bahan baku perak dan kesulitan regenerasi perajin perak. Kerajinan perak Kotagede pada awalnya hanya diperuntukkan untuk kalangan raja-raja Mataram dan hadiah untuk para tamu raja. Pergantian jaman pada saat masa penjajahan Belanda, kerajinan perak beralih fungsi untuk memenuhi kebutunan peralatan makan dan minum para bangsawan Belanda.
Kerumitan membuat ukiran di atas media perak pun membutuhkan bakat dan ketekunan hingga masalah regenerasi juga menjadi masalah untuk pengembangan kerajinan perak. Kini beberapa toko di jalan Kemasan yang saya kunjungi bahkan beberapa produknya sudah menggunakan bahan pengganti seperti tembaga dan kuningan. Harga yang ditawarkan berkisar antara Rp.125.000 — Rp.300.000 untuk aksesoris perak. Sedangkan untuk beberapa pajangan perak seperti miniatur candi Borobudur dan sebagainya bisa mencapai harga jutaan rupiah tergantung dari kerumitan dan ukurannya.
*SRIWIJAYA In-flight Magazine adalah majalah yang diterbitkan oleh Sriwijaya Air