Sumber: KABARE, November 2005 hlm. 28-30 | Syafarudin M | Foto: Ika Hilal
Ada banyak sisi kota Jogja yang tetap bertahan dengan kekunoannya. Salah satunya adalah Kotagede. Sebuah kota yang hingga kini memiliki keanekaragaman warisan leluhur Pada zaman kerajaan Mataram Islam berdiri, Kotagede dijadikan sebagai pusat pemerintahan dan perekonomian.
Begitu pula ada banyak jenis makanan yang tercipta dari pengaruh budaya keraton masa lalu. Makanan para bangsawan yang telah bebas dinikmati oleh masyarakat umum. Sebut saja capeng, clorot, widaran, moro lego, ongol-ongol, klepon, atau apem. Bahkan dari sebagian nama-nama tersebut kini sudah jarang sekali beredar. Kali ini kita akan menyusuri kipo, salah satu dari sejumlah nama jajanan pasar di Kotagede yang sampai saat ini melegenda.
Bermula dari tangan terampil Mbah Mangun Irono yang berkreasi membuat kipo dengan berbahan dasar tepung beras ketan. Ada sekelumit cerita mengapa jajan pasar berwarna hijau dan agak kehitam-hitaman karena gosong oleh goreng sangan itu dinamakan kipo. Orang-orang Kotagede sangat kental dengan logat Jogja dan Solo. Saat mereka berinteraksi saling sapa untuk menanyakan satu jenis makanan, mereka hanya mengucap opo? Nah, karena yang ditanya pun belum tahu, pertanyaan itu hanya dijawab sekenanya saja, kipo.
Setelah Mbah mangun wafat, sejak tahun 1946 usaha ini diwariskan anaknya Bu Paijem Djito Suhardjo. Pada generasi kedua inilah kipo mulai memasyarakat, terutama saat Dinas Pariwisata dan PHRI mengadakan pameran dan lomba makanan berbahan tepung ketan pada tahun 1986. Setelah itu, berturut-turut pada tahun 1988 dan 1990 undangan datang dari Jakarta untuk mengikuti festival makanan tradisional.
Sepeninggal Bu Djito tahun 1991, usaha ini kembali diwariskan oleh putrinya Dra. Istri Rahayu. Ibu tiga orang putra buah perkawinannya dengan Shodiqun ini lalu mengembangkan kios yang berada di jalan Mondorakan No. 27 sebagai rumah produksi kipo. “Pintu depan kios sengaja tidak kami rubah untuk tanda bagi pelanggan lama kami,” tutur wanita alumnus IKIP Jogja (sekarang UNY). Selain pintu, ikon paling penting yang menunjukkan kios ini, adalah tempatnya yang tepat berdiri di depan pegadaian lama Kotagede.
Sekalipun berasal dari warisan keluarga, toh hasil karya Mbah Mangun itu kini juga telah banyak diwarisi oleh masyarakat Kotagede. Di sisi utara sepanjang jalan Mondorakan menuju Pasar Kotagede, berjajar kios-kios pedagang kipo. “Kami tidak membatasi bahwa kipo ini hanya milik kami, silakan siapa yang mau membuatnya,” lanjut Bu lstri.
Kelezatan kipo terukur dari citarasa khas bahan-bahan tepung beras ketan, kelapa muda, dan gula jawa. Kekhasan lainnya warna hijau muda yang diambil dari sari pipisan daun pandan suji. “Tidak ada tambahan dari bahan kimia, sehingga halal dan aman untuk dikonsumsi,” terang Bu Istri.
Selama bulan Ramadhan, kipo selalu menjadi hidangan pembuka favorit. Saat lebaran dan acara resepsi pernikahan, kipo menjadi makanan khas kecil pemanis hidangan.